Dari Catwalk menuju Trade Show

From Wanita-gaya

MODE tidak melulu berbicara mengenai pertunjukan di atas catwalk atau siapa yang menghadirkan koleksi terbaik, melainkan juga berbicara tentang bagaimana cara menjual. Sisi bisnis yang kerap tersisih dari lampu sorot.

Mode bukanlah merupakan pergelaran busana semata. Terdapat mata rantai panjang yang saling berhubungan membentuk sebuah industri kompleks yang dinamakan mode. Untuk menjadikan mode sebagai industri, bukanlah merupakan hal yang mudah. Sebabnya, semua unsur di dalamnya harus saling mendukung.

Demi mendapatkan keterkaitan itu, dibutuhkan kerja sama dan usaha keras dari berbagai pihak. Dalam sebuah pekan mode, yang menjadi tujuan utama dari pertunjukkan koleksi anyar para desainer adalah penjualan. Mereka berharap, fashionista, pihak media, dan buyer yang berada dalam fashion tent tertarik menyaksikan rancangan terbaru yang kemudian bisa mendongkrak penjualan.

Karenanya, di atas catwalk, mereka mempersembahkan citra koleksi yang sebaik-baiknya, tentu tanpa melupakan permintaan pasar, kendati idealisme tetap tertuang. Kesuksesan seorang desainer maupun brand adalah ketika rancangan terbaru mereka disukai pasar, yang tentu saja berpengaruh terhadap tumpukan pundi-pundi keuntungan.

Oleh karena itu, pekan mode menjadi sebuah media raksasa yang mempertemukan banyak pihak. Karenanya, sebuah fashion week akan menjadi sebuah media bisnis bila dilengkapi dengan trade show, sebuah section khusus yang menjadi tempat bagi desainer dan pelaku mode untuk menjual koleksinya langsung kepada penikmat mode dan buyer.

Hal itu yang berusaha dilakukan Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2009. Untuk pertama kalinya, setelah lima tahun penyelenggaraan, pekan mode yang berlangsung di Kelapa Gading ini melengkapi pesta modenya dengan sebuah mini trade show yang bertajuk "Fashion Village".

Wakil Ketua JFFF 2009 Musa Widyatmodjo mengatakan, pada tahun keenam ini, penyelenggaraannya memang lebih diarahkan ke bentuk trade show. "Kami memulainya dengan 'Fashion Village'," sebutnya.

Pendapat serupa juga dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Taruna K Kusmayadi yang menyebutkan bahwa JFFF 2009 adalah "latihan" menuju format fashion week yang sebenarnya.

"Jadi lima tahun pertama itu branding, dan lima tahun berikutnya, yang kami mulai tahun ini mengarah ke fashion week," ujarnya.

Lebih lanjut, Taruna menyebutkan melalui "Fashion Village", penyelenggara dapat mengukur animo, baik desainer dan masyarakat, dalam hal fashion trading.

"Pada akhirnya, kami akan mengundang buyer domestik dan juga mancanegara. Tapi itu masih nanti, mungkin sekitar tiga tahun lagi," sebut pria yang akrab disapa Nuna ini.

Nuna juga mengatakan, pihak Summarecon, sebagai penyelenggara JFFF, berencana mengadakan kerja sama dengan industri tekstil dan garmen, selain dengan desainer.

"Nantinya, JFFF bisa menjadi platform bagi terciptanya industri mode yang integratif, jadi desainer dan brand tidak hanya bisa bertemu langsung dengan buyer, tapi mereka juga bisa menjalin business relationship dengan pihak hulu industri, seperti tekstil," paparnya.

Selain kerja sama dengan pihak industri terkait, Nuna pun mengemukakan JFFF pada masa mendatang juga akan menyediakan katalog yang menurutnya bisa membantu menaikkan tingkat penjualan desainer, terutama bagi mereka yang berasal dari daerah.

"Dari APPMI sendiri, kami mengusulkan untuk menghadirkan katalog yang memuat koleksi-koleksi terbaru desainer. Itu akan menjadi cara baru konsumen untuk berbelanja, shopping by catalogue, terutama bagi desainer daerah yang belum memiliki toko di pusat," sebut pria berkacamata ini.

Sementara untuk "Fashion Village", Nuna menyebutkan animo masyarakat cukup baik. Dalam artian, terjadi penjualan dan pemesanan.

"Tapi kami belum tahu, apakah hal itu terjadi karena euforia fashion show atau memang sudah ada keinginan untuk membeli, ini kan masih meraba-raba. Lagi pula, promosi kan tidak bisa dilakukan dalam satu musim. Namun, setidaknya event ini membantu agar desainer bisa lebih dikenal masyarakat," imbuhnya.

Adapun dari segi produk yang dijual di "Fashion Village", Nuna mengatakan, hal tersebut diserahkan kepada masing-masing desainer.

"Bisa first line atau second line, tergantung desainernya. Tapi kami memang menganjurkan untuk menjual koleksi ready-to-wear, yang lebih wearable, simpel dan elegan," ujar Nuna.

Dari segi konsumen, Nuna menyebutkan bahwa konsumen Indonesia sudah jauh lebih mengerti dan fashion conscious. "Apalagi di Jakarta yang memang menjadi barometer fashion Indonesia. Karenanya, dengan adanya 'Fashion Village' ini, desainer bisa melihat secara langsung apakah masyarakat menyukai koleksi mereka," lanjutnya.

Stephanus Hamy, seorang desainer dari Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) yang mengikuti "Fashion Village" mengatakan, adanya program mini trade show di JFFF menunjukkan perkembangan pekan mode tersebut.

"Bagi saya, adanya 'Fashion Village' ini sudah bagus karena bisa langsung mempertemukan desainer dengan konsumen. Namun, untuk ke depannya, saya mengusulkan agar pencahayaan dan penempatannya diperbaiki," ujar Hamy, yang mengaku mendapatkan beberapa konsumen baru lewat ajang tersebut.(Koran SI/Koran SI/nsa)
Sumber :http://lifestyle.okezone.com/read/2009/06/01/194/224888/dari-catwalk-menuju-trade-show